0
GAGASAN revolusi mental yang diluncurkan presiden terpilih Joko Widodo mendapat respons positif dari berbagai kalangan, baik dari teknokrat, agamawan, maupun para pendidik.
Ide revolusi mental bermula dari kegalauan yang dirasakan masyarakat di berbagai ruang kehidupan. Antara lain, di jalan-jalan kota besar dan kecil serta di ruang publik yang lain, termasuk media masa dan media sosial. Revolusi mental harus segera dilakukan. Mengingat, pertama, gagalnya rezim Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan, yang belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).

Kedua, tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung hingga sekarang, mulai korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan hingga sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Semua itu masih berlangsung dan beberapa di antaranya bahkan makin merajalela di alam Indonesia yang terkenal ramah ini.
Meski sangat sederhana, konsep yang ditawarkan Joko Widodo itu didasari oleh pemikiran yang sangat fundamental, filosofis, dan empiris sehingga mampu menyentuh akar persoalan. Masalahnya, revolusi mental dimulai dari mana?

Revolusi mental dimulai dari pendidikan, mengingat peran pendidikan sangat strategis dalam membentuk mental anak bangsa. Pengembangan kebudayaan maupun karakter bangsa diwujudkan melalui ranah pendidikan. Pendidikan pengembangan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process). Selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis, pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi.
Implementasi pendidikan karakter tidak harus dikaitkan dengan anggaran. Dibutuhkan komitmen dan integritas para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk secara sungguh-sungguh menerapkan nilai-nilai kehidupan di setiap pembelajaran. Pendidikan karakter tidak sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik. Dengan begitu, peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik (loving the good/moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action), dan biasa melakukan (psikomotor). Jadi, pendidikan karakter erat berkaitan dengan habit (kebiasaan) yang dipraktikkan dan dilakukan.
Anak-anak tidak membutuhkan kurikulum, tetapi kehidupan yang benar-benar mampu menghidupi mereka. Mereka belajar dari kehidupan nyata. Yang terjadi sekarang, banyak nilai atau ajaran yang sudah ada itu dikaburkan, ditutup-tutupi dengan kebohongan yang dikemas dalam sebuah ikon berupa iklan yang justru menyesatkan.

Thomas Lickona, dalam bukunya, Education for Character, menawarkan dua nilai utama pendidikan karakter yang berdasar atas hukum moral, yaitu sikap hormat dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut mewakili dasar moralitas utama yang berlaku secara universal. Sebab, itu memiliki tujuan dan merupakan nilai yang nyata bahwa terkandung nilai-nilai baik bagi semua orang, baik secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Ada tiga hal pokok untuk memahami konsep rasa hormat. Pertama, penghormatan terhadap diri sendiri. Maksudnya, mengharuskan kita untuk memperlakukan apa yang ada pada hidup kita sebagai manusia yang memiliki nilai secara alami. Kedua, penghormatan terhadap orang lain, mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang, bahkan orang-orang yang kita benci, sebagai manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama dengan kita sebagai individu. Ketiga, hormat terhadap lingkungan, sebuah kewajiban untuk melindungi alam dan lingkungan ketika kita hidup dari rapuhnya ekosistem dan segala kehidupan yang bergantung di dalamnya.
Sedangkan tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa hormat. Jika menghormati orang lain, itu berarti kita menghargai mereka. Jika menghargai mereka, kita merasakan sebuah ukuran dari rasa tanggung jawab kita untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka. Tanggung jawab secara literal ’’kemampuan untuk merespons atau menjawab’’. Artinya, tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian, dan secara aktif memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab menekankan kepada kewajiban positif untuk saling melindungi.
Sikap hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai moral dasar dalam membentuk mental anak yang harus diajarkan di sekolah. Tentunya masih banyak nilai lain, misalnya kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong-menolong, peduli terhadap sesama, keberanian, dan sikap demokratis. Namun, nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan tanggung jawab atau sebagai media pendukung untuk bersikap hormat dan bertanggung jawab. Bagaimana strategi pengajaran tentang rasa hormat dan tanggung jawab? Bergantung kepada kebijaksanaan masing-masing sekolah. Semoga.


*) Wakil ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, mengajar di Unika Darma Cendika Surabaya (bonaventura_suprapto@yahoo.com)

Post a Comment

 
Top