0

Sering saya mendengar slentingan-slentingan kesal dari para Guru. Semisal, “Santai sajalah. Ngapain pusing-pusing mikir anak orang lain.” Seketika saya akan menanggapi slentingan itu dalam hati, ngapain pula Anda mau-maunya jadi guru? Toh, mereka yang Anda anggap telah membuat pusing itu kelak belum tentu memberikan penghargaan kepada Anda.

Sebenarnya, yang membuat seorang Guru pusing bukanlah karena mereka murid-murid anda. Anda yang sudah punya anak pun kerap dipusingkan oleh tingkah-polah anak kandung anda sendiri kan? Hayo ngaku! Yeah, namanya saja anak-anak. Istri saja kerap bikin pusing karena minta itu-ini. Dan memang, perkara pusing atau tidak pusing, sangat erat kaitannya dengan bagaimana kita mengatur dan menjaga emosi.
Tetapi, kadang-kadang pusing itu penting. Anda yang mengaku pusing karena memikirkan murid Anda, itu berarti Anda menaruh perhatian yang dalam terhadap mereka. Dalam hal ini, pusing lebih baik ketimbang cuek, masa bodoh, atau permisif, yang melahirkan slentingan terkenal semacam “emang gue pikirin”.

Memusingkan berarti memikirkan. Dan memikirkan siswa itu ibadah luar biasa besar pahalanya. Memikirkan siswa sudah menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari para guru yang mengaku mencintai murid-muridnya.

Saya terkadang mengamati teman-teman guru yang sekantor dengan saya. Di antara mereka, termasuk saya (jujur, hehe), seringkali tidak mempedulikan para siswa. “Mau apa pun terserah kaulah!” Kira-kira demikian yang terucap dalam hati.

Tetapi bagaimanapun, guru adalah manusia, yang punya perasaan juga. Menjelang tidur, guru-guru yang permisif macam itu, pastilah sesekali pernah terbayang pula tingkah-polah nakal para siswa. Satu sisi sedih membayangkan masa para siswa, tetapi pada sisi yang lain tidak tahu harus berbuat apa. Dan jika benar ini terjadi pada diri Anda, maka sebenarnya Anda masih manusia. Tetapi jika tidak, barangkali Anda memang sudah waktunya chek up ke dokter spesialis kejiwaan. Hem, jangan tersinggung, saya cuma menyarankan. Anda tidak harus menuruti.

Sedih melihat keadaan siswa yang bengal, yang ugal-ugalan, tidak pernah mengerjakan PR, dan lain-lain yang menyedihkan adalah titik kecil yang menjadi bukti bahwa kecintaan guru terhadap siswanya. Guru yang tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik mereka tentang bagaimana mencari dan menemukan ilmu. Titik kecil ini harus selalu kita rawat, harus selalu kita jaga, dan kita kembangbiakkan sehingga benar-benar bermanfaat.

Empati Tingkat Tinggi

Ketika kita melihat musibah bajir di televisi, kita yang manusia akan berempati. Empati itu kita tunjukkan dengan banyak hal. Kita mungkin membayangkan bagaimana jika musibah itu menimpa diri dan keluarga kita, dan itu adalah empati yang paling rendah. Kita mungkin turut prihatin, lalu mendoakan para korban dengan kekhusukkan doa yang biasa kita panjatkan ketika kita meminta rejeki, dan inilah empat tingkat kedua. Dan sebagian saja yang empatinya di kelas tiga. Selain prihatin dan berdoa, sekaligus membantu para korban dengan langkah-langkah konkrit. Semisal, mentransfer sejumlah uang, menyumbangkan pakaian-pakaian yang layak, dan sebagainya.

Demikian pula ketika kita benar-benar menyayangi siswa. Sedih dan prihatin dengan tawuran yang makin marak, misalnya, adalah sikap guru tingkat pertama. Prihatin dan berdoa untuk keselamatan, kesuksesan, dan keberkahan ilmu bagi para siswa adalah sikap guru tingkat kedua. Berdoa dan menjalankan strategi yang telah kita buat untuk menjadikan para siswa sebagai manusia seutuhnya adalah guru luar biasa. Guru seperti inilah yang memiliki empati tingkat tinggi. Pertanyaannya, Anda termasuk yang mana, silahkan bercermin di kamar masing-masing.

Dugaan saya, guru golongan tingkat pertama mendominasi guru-guru kita. Sedangkan guru tingkat kedua, sangat jarang kita ditemukan. Dan sebenarnya, masih ada pula guru yang tidak pernah mendoakan siswanya, tetapi dia begitu gigih dalam tugas-tugasnya. Guru-guru seperti ini barangkali lupa bahwa manusia tidak punya kekuatan apa-apa tanpa kekuatan yang diberikan Tuhan. Dalam arti lain, ia tidak lagi membutuhkan bantuan Tuhan dalam menjalankan usahanya.

Mendoakan para siswa adalah bukti bahwa kita mencinta siswa didik. Bukti yang tidak penting untuk diperlihatkan kepada siapa pun, kecuali Tuhan semata.

Anda ingat, kapan pertama kali anda jatuh cinta. Pastilah anda kerap menyebut-nyebut nama orang yang anda cintai, baik dengan lisan, tulisan, maupun dalam hati. iya kan? Jawabnya cukup dalam hati saja, biar istri/suami anda tidak bertanya-tanya. Hehe..

Demikian pula  jika anda mencintai siswa-siswa anda, menginginkan mereka mendapatkan pencerahan, menuai kesuksesan hidup di dunia dan setelahnya. Maka, pastilah anda kerap menyebut-nyebut mereka, terutama dalam doa-doa anda. Bukankah anda selalu mendoakan anak-anak anda? Nah, siswa anda adalah anak anda juga. Tidak hanya ketika berada di sekolah, tetapi juga ketika Anda berada di rumah, ketika tidak sedang bersama-sama dengan mereka, di mana pun anda berada.

Apakah dengan mendoakan para siswa akan membuat mereka menjadi sayang kepada kita. Belum tentu juga. Tidak mengapa jika cinta kita bertepuk sebelah tangan. Toh kita sudah punya suami/istri masing-masing. (Yang ini serius bercanda. Saya tidak yakin sidang pembaca sudah banyak yang menikah.) 
Bukankah pengabdian yang benar-benar pengabdian tidak membutuhkan pengakuan? Maka, apa yang anda risaukan jika cinta anda kepada siswa-siswa anda tidak berbalas.

Oke, kalau anda memang benar-benar ingin disayang oleh siswa, memang doa saja tidak cukup! Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Sebelum jauh ke sana, perlu diketahui bahwa kesenangan orang terhadap orang lain sangat subyektif.

Ya, kadang-kadang, siswa suka aneh juga.
Cobalah tanya kepada mereka, “Pelajaran apa yang paling kalian sukai?

Mereka akan menjawab serentak, “Pelajaran kosong!”

Kita bertanya lagi, “Selain pelajaran kosong, pelajaran apa lagi?”

Dan mereka kontak menjawab, “Olah raga.” Meski ada beberepa siswa tidak setuju dengan jawaban itu.

Lalu kita bertanya pada diri kita sendiri, “Siapakah pengampu Mata Pelajaran Kosong?” dan kita hanya bisa geleng-geleng.

Dan kenapa para siswa cenderung menyukai pelajaran olah raga. Sebab, olah raga itu menyenangkan bagi sebagian besar siswa. Mereka bisa tertawa lepas, berlari, dan berteriak di udara bebas. 

Yang penting digaris bawahi dari hal tersebut adalah kata “menyenangkan”. Tidak harus lari-lari, tidak harus tertawa dan berteriak, atau belajar di alam terbuka. Yang penting adalah menyenangkan! Itulah hal utama yang harus dijadikan landasan oleh seorang guru agar disukai oleh siswanya: Menjadi guru yang menyenangkan!

Menyenangkan bukan berarti kita harus menuruti semua kemauan siswa. Guru adalah fasilitator yang tugasnya adalah mengarahkan kemudi untuk sampai pada tujuan yang diharapkan. Penting dicatat, bahwa belajar menyenangkan adalah hak setiap siswa. Di sinilah pentingnya bagi seorang guru untuk merancang strategi pembelajaran yang mengasyikkan. Bukan hanya agar siswa enjoy, tetapi sekaligus agar materi yang kita sampaikan bisa mengena, tepat pada sasaran.

Sebenarnya, masih ada beberapa syarat lain agar seorang guru disayang oleh siswanya. Di antaranya, mampu mengendalikan suasana kelas, senang dengan humor, dan tidak kalah penting dari itu adalah menjadi contoh yang baik.

Meminta Masukan Siswa

Sekarang, anggaplah anda merasa telah menyayangi siswa anda, rajin mendoakan mereka, mengajar dengan metode menyenangkan yang bervariasi, mengeluarkan humor pada saat-saat yang tepat, dan memberi teladan kebaikan. Jika masih ada satu atau dua puluh siswa tidak menyukai anda, itu bukan kesalahan anda. Tetapi jika lebih dari 50% siswa membenci anda, anda perlu berpikir untuk berhenti menjadi guru!
Tenang, tentang! Saya tidak serius soal ini. Tetapi saya juga tidak sedang bercanda. Anda tidak perlu marah. Saran itu adalah alternatif terakhir setelah saran saya yang ini:

Agaknya anda perlu untuk rehat sejenak dan mengoreksi kesalahan-kesalahan anda dalam menjalankan tugas-tugas anda sebagai guru. Jangan tanyakan kepada istri anda soal ini. Tanyakanlah hal tersebut langsung kepada para siswa! Mintalah mereka mengeluarkan selembar kertas untuk ditulis sesuatu yang tidak disukai dari kita (cara mengajar, penampilan, sikap, sampai cara kita menatap mereka). Agar siswa berani mengeluarkan segudang kemuakkannya kepada anda (hehe, sabar), suruh mereka untuk tidak menuliskan namanya. Setelah itu, bacalah satu-satu kritik dari mereka dengan jiwa yang besar.

Salam pendidikan!

Sumber : http://www.tintaguru.com

Post a Comment

 
Top