Berbicara tentang perkembangan madrasah
tidak bisa lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari
keinginan para pemeluk Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh
tentang ajaran agamanya, muncul pendidikan agama yang secara sporadis
dilaksanakan di rumah-rumah, langgar, masjid, lalu berkembang menjadi
lembaga yang disebut pondok pesantren.
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun 1619).
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun 1619).
Baru pada akhir abad ke-19, Belanda atas
saran Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal
untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonialnya dan menandingi pengaruh
pesantren yang luar biasa. Pesantren selalu waspada terhadap politik
etis Belanda.
Setelah menyadari perlunya perubahan
atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20,
pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem
ini dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas-
sebagai jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat
politik etis kolonial.
Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan
umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan
pengembangan dari pesantren, menekankan pendidikan keagamaan Islam,
terutama menyangkut disiplin akidah, syari’ah dan akhlak. Titik tekan
ini masih mampu dipertahankan secara mencolok sampai akhir masa
penjajahan Jepang.
Prestasi yang dapat dilihat adalah
munculnya para alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai
ulama atau kiai. Mereka dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya
di bidang keilmuan agama Islam, juga memiliki kepekaan tinggi terhadap
masalah sosial dan lingkungan.
Madrasah dengan titik tekan materi
pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap non-kooperatif para
pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, sengaja tidak
menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial.
Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak
diproyeksikan pada produktifitas kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang
paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk menarik
pengaruh masyarakat terhadap timbulnya ‘nilai lain’ akibat perbedaan
status sosial. Ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan
pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah
pandangan, dari dasar menuntut ilmu li wajhillah ke arah pandangan yang
bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian, sebuah ciri utama
dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya
yaitu pesantren.
***
Ketika awal masa kemerdekaan RI sampai
adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih
konsisten berdiri di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur
sosial kemudian mendorong pesantren menyesuaikan diri dengan kebutuhan
mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Berbagai
komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan
madrasah, lalu muncul.
Dulu madrash hanya mengenal sistem
klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu sampai dengan enam atau sampai
belasan (seperti di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya
semakin meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen
kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya.
Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya sesempurna
mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama
pada waktu lembaga ini menjadi rival Departeman Agama dengan
kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).
Bila pada awal kemerdekaan, madrasah
pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu muncul
terutama karena negara baru ini berwatak duniawi dan nasionalistis.
Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki tradisi keagamaan.
Mulai masa MWB itu, madrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi pemerintah
dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka
keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun
secara selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi
yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang
dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan
mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai
dibicarakan bentuk dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan
kualitasnya. Sejak ini, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah.
Akan tetapi secara ideal saat itu madrasah masih dapat konsisten pada
titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasinya
mengalami penurunan.
Ilustrasi di atas memperlihatkan,
madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsurunsur
inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingaya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah,
apakah proses penyerapan unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya
tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula
(karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan
akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan
perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama tersebut?
***
Suatu fenomena lain yang merupakan
kelanjutan dari proses itu ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975
diterapkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai
perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup
masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk legalisasi saja dari
tuntutan itu.
Mulailah madrasah menstandarkan
kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi setelah
terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-kurangnya
memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.
Perubahan di madrasah kini tidak hanya
terjadi pada kurikulum silabusnya dengan literatur yang baru, akan
tetapi wawasannya juga berubah. Pendidikan di madrasah mulai
berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa
mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri
menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan ke arah duniawi.
Nilai belajar li wajhillah mulai pudar
atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan
priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru
ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan
banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen pendidikan
agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak
lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya
perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan
yang secara esensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan
konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya
madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat
perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian
belajar.
***
Struktur sosial dan sistem nilai yang
berkembang di masyarakat mempunyai dampak yang kuat terhadap pendidikan
termasuk di madrasah. Jika pemerintah kini sedang mengupayakan agar
tahun 2000 Indonesia sudah mampu tinggal landas terbang mencapai status
“negara maju”, tentu akan terjadi berbagai perubahan besar. Antara lain
peranan sektor industri akan semakin besar, menggeser peranan sektor
pertanian yang selama ini menjadi tumpuan lapangan kerja sebagian besar
penduduk Indonesia, terutama 80% penduduk desa.
Bersamaan dengan itu, sektor jasa yang
selama ini relatif masih terbatas juga akan mengalami perubahan besar,
di mana peranan modal dan keterampilan akan sangat menentukan. Alam
lingkungan tidak begitu ramah lagi, antara lain disebabkan laju
pertumbuhan penduduk yang terus membengkak dan akan banyak mempengaruhi
kebebasan dan kelestariannya.
Semua perubahan yang akan terjadi itu
tentu akan mempengaruhi pendidikan madrasah. Sedangkan perubahan yang
terjadi pada diri madrasah, dengan serinya membawa kemelut dalam wawasan
yang dimilikinya. Madrasah tidak dapat mengubah wawasan pendidikannya
begitu saja, tanpa kehilangan identitas diri semula.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik
seperti itu, madrasah jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan
apapun yang bersifat konsepsional. Di sinilah madrasah dihadapkan kepada
masa esok yang cerah atau suram, tergantung kemampuan madrasah
mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan masalah dilematik di atas.
Satu hal yang harus dilakukan oleh
madrasah dalam pengembangan diri ialah, melihat masalah-masalah dasar
yang dihadapi madrasah. Masalah-masalah dasar itu dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang, baik yang bersifat internal (seperti kualitas
pimpinan dan pengelola pendidikan madrasah), maupun yang bersifat
eksternal (seperti aspirasi umat, perkembangan sosial dll). Namun pada
dasarnya, masalah utama yang dihadapi madrasah adalah:
a. Masalah identitas diri madrasah,
dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap
lembaga-lembaga lain di masyarakat.
b. Masalah jenis pendidikan yang dipilih
sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu
sistem pendidikan yang masih memiliki titik-tekan keagamaan, tetapi
pengetahuan umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi
perkembangan aspirasi masyarakat.
c. Masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa esok.
***
Satu hal yang rumit bagi madrasah
adalah, usaha pengembangan yang diarahkan untuk mendekatkan atau
menghilangkan sama sekali polarisasi dua orientasi-orientasi agama dan
orientasi umum- menuju keseimbangan dalam porsi yang sama. Tujuan itu
juga erat korelasinya dengan identitas madrasah. Madrasah adalah
madrasah, bukan sekolah umum dan tentu memiliki identitas sendiri,
walaupun “madrasah” dari segi bahasa adalah nama lain dari “sekolah”.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan
lslam, kecuali memiliki identitas sendiri, juga mempunyai tujuan bagi
sasaran didiknya. Dilihat dari sudut sasaran ini, ada dua dimensi yang
harus dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Secara mikro
dapat dipandang, peserta didik sebagai makhluk individu, dan secara
makro dipandang sebagai makhluk sosial.
Sebagai individu, ia diharapkan menjadi
manusia “akram” dan “shalih” dalam artinya yang luas. Sedangkan sebagai
makhluk sosial diharapkan menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada
masyarakat, dalam rangka melaksanakan dua tugas utama ‘khalifatullah” di
atas bumi ini, yaitu ’ibadatullah dan ‘imaratul ardli (beribadah kepada
Allah dan membangun di atas bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk
mencapai tujuan hidup manusia, yakni sa’adatud darain.
Madrasah yang juga sebagai media
perjuangan mempertahankan ajaran Islam, amat penting diusahakan
kelestarian dan keberadannnya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang
sedang membangun dan akan tinggal landas. Madrasah harus mampu secara
dinamis dan kreatif menjawab segala tantangan seraya memperkuat misinya,
tanpa kehilangan identitasnya yang hakiki. Dalam hal ini, madrasah
tidak boleh menutup mata sebelah terhadap kenyataan-kenyataan yang
dihadapi, akan tetapi juga tidak selalu melihat (meniru) perkembangan
kemajuan yang terjadi di sekelilingnya.
***
Problematika madrasah dewasa ini perlu
disimak dan diamati secara akurat, sebagai bahan mengaca diri untuk
memetakan prospeknya di masa mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari
kondisi objektif, utamanya di bidang pendidikan yang mempengaruhi proses
perkembangan madrasah itu sendiri.
Dewasa ini, setiap anggota masyarakat
dengan berbagai latar belakang stratifikasi sosialnya mempunyai persepsi
dan antisipasi pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari
sisi kegunaan praktis sebagai suatu bidang usaha yang bersifat ekonomis.
Di pihak lain pendidikan dipandang sebagai sarana pembinaan kehidupan
nilai-nilai budaya.
Pandangan pertama menumbuhkan
kecenderungan perlunya menempatkan usaha pendidikan sebagai sarana
mutlak untuk membentuk kualitas manusia yang bertumpu pada produktivitas
kerja. Sedangkan pandangan kedua menekankan pendidikan moral dan
budaya. Sementara itu, tujuan pendidikan nasional seperti dalam GBHN,
untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa-bangsa”.
Pengertiannya, pendidikan merupakan
sarana yang sangat strategis dalam proses pembangunan yang mempunyai
cakupan lebih luas lagi ketimbang kedua pandangan di atas.
Madrasah pada umumnya, terutama dalam
dekade terakhir ini, tampaknya mempunyai kecenderungan mencari pemecahan
problematika dengan caranya sendiri. Rumusannya bisa jadi terpengaruh
berbagai pola pandangan di atas atau karena lingkungan yang menuntut
sikap akomodatif pada dirinya.
Pada prinsipnya, bentuk pemecahan itu
ialah mengkompromikan antara wawasan di atas dengan konsekuensi
orientasinya sendiri menjadi tidak jelas, walaupun arah sasaran akhirnya
jelas untuk mengejar kredibilitas atau akreditasi langsung mau pun
tidak langsung, demi mensejajarkan dirinya dengan “sekolah” (baca: bukan
madrasah). Lalu berdirilah Madrasah Aliyah IPA (sekarang ada A2), ada
lagi Aliyah IPS (sekarang A3) dan lain sebagainya.
Madrasah tidak lagi mempermasalahkan
“identitas”. Otonomi madrasah yang notabene “swasta” dan “mandiri” mulai
berkurang. Upaya pengembangan kurikulum tersendiri untuk mengatasi
problem-problem yang dihadapi masyarakat -termasuk komponen pendidikan
agama sekalipun- mulai kurang dihiraukan demi mengejar status. Etatisme
(kehidupan serba-negara) mulai mempengaruhi sikap, pandangan ataupun
wawasannya.
Ijazah formal menjadi amat penting,
bahkan manfaat ekonomisnya selalu diintrodusir kepada para peserta didik
sebagai motivasi kegairahan peningkatan proses belajar-mengajar.
Ironisnya, menurut Dr. Ir. Seno Sastroamidjojo -guru besar Universitas
Diponegoro- masyarakat sendiri mendukungnya. Opini umum mengatakan,
ijazah merupakan legitimasi untuk memperoleh pekerjaan.
Jadi proses pendidikan sekarang ini
tidak lagi memacu kreativitas alumninya untuk menciptakan pekerjaan,
namun mencari dan menunggu datangnya pekerjaan. Ini suatu proses
ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr. Loekman Sutrisno dari
UGM- mengatakan, “Yang ada sekarang adalah intelektual-intelektual yang
hanya berorientasi pada ekonomi. Kemudian timbul erosi, di antaranya
gejala mahasiswa ingin cepat selesai, dapat pekerjaan dan jadi
birokrat”.
***
Dampak dari kenyataan-kenyataan di atas,
secara kurang disadari oleh madrasah, ialah adanya semacam ambivalensi
wawasan pada diri madrasah yang mengakibatkan makin kurang jelasnya
orientasi yang dimiliki.
Kredibilitas formal sebuah lembaga
pendidikan dengan segala konsekuensinya, secara argumentatif tidak
mungkin dihindari. Tapi secara sportif harus diakui, hal itu melemahkan,
bahkan mendangkalkan misi madrasah yang mempunyai ciri intrinsik berupa
tradisi keilmuan agama Islam. Tata nilai Islami sebagai sumber
referensi yang mampu melakukan transformasi kultural dan membentuk sikap
rasional Islami dalam membangun manusia seutuhnya, mulai diabaikan.
Problem masyarakat yang belum mendapat
perhatian serius dari kalangan madrasah, ialah kian meledaknya secara
dahsyat jumlah anak usia sekolah yang sangat memerlukan bimbingan dan
pendidikan agama Islam. Sebagai indikatornya, mushala, masjid, majelis
ta’lim dan madrasah yang secara kuantitatif meningkat, semuanya
dibanjiri oleh sekurang-kurangnya 70% dari kalangan muda, pelajar dan
mahasiswa.
Namun bersamaan dengan itu, eksponen
Muslim yang mampu menguasai ajaran Islam semakin langka. Apalagi sampai
menguasai totalitas ilmu agama yang meliputi akidah, syari’ah dan
akhlak. Kenyataan ini menunjukkan kemunduran kualitas ajaran Islam bagi
peserta didik. Tenaga ahli agama secara kuantitatif mau pun kualitatif
tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan yang
mendasar antara Islam dan pemeltak terelakkan lagi.
Giliran berikutnya, tidak mustahil akan
terjadi pemahaman dangkal terhadap ajaran Islam, dan akan muncul
persepsi eksklusif atas ajaran Islam yang universal. Terbukti di dalam
proses transformasi kultural dewasa ini, ada kecenderungan masyarakat
untuk berorientasi pada tata nilai yang non-Islami. Ini mungkin karena
kurangnya intensitas upaya mengangkat nilainilai Islamiyah ke permukaan
secara aplikatif di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
Sebab lain adalah, masih sulitnya
menampilkan aktivitas bercorak Islam yang bertolak dari falsafah
Pancasila. Hal ini menyangkut hubungan antara agama dan dasar negara
yang rumit. Kenyataan yang diilustrasikan itu, memerlukan pemecahan
tuntas dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan kondisi objektif mau
pun potensi dan misi madrasah.
Madrasah (di samping pesantren) dewasa
ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih mempunyai kredibilitas
dari masyarakat di dalam menanamkan nilai-nilai Islami maupun
penyebaran ajaran Islam. Namun sejauh mana madrasah mampu mengemban
amanat tersebut, akan bergantung pada kemampuan mencari
alternatif-altematif pemecahan problematika madrasah itu sendiri.
Madrasah mesti mampu merumuskan sendiri prospeknya yang lebih utuh
dengan konsep-konsep strategis dan rencana operasional yang tidak
semata-mata utopis.
***
Analisis mengenai eksistensi madrasah
dan masyarakatnya di atas, mengantarkan kepada penglihatan lebih jauh
mengenai prospek madrasah berangkat dari kerangka acuan strategis.
Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan bagi peserta didik sebagai
individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Jangkauan waktu pun
tidak hanya untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinnan semacam ini
perlu direncanakan matang, karena hal itu merupakan proses normatif dan
teknis, yang tentu saja akan bisa dicapai melalui satu pertumbuhan
panjang dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak mudah
dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi
yang, di satu segi mengutamakan kenyataan-kenyataan yang hidup “di sini
hari ini”, sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan
Islam yang perlu direalisasikan “di hari esok”. Segi pertama berjangka
pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan
jangka pendek tidak dapat dibiarkan berhubungan semata-mata atas
pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi harus ditetapkan dan dirancang;
secara selektif agar dengan perkembangan itu dapat dicapai sisi kedua
secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak sekarang madrasah
perlu merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai nilai spesifik
dalam konteks komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan
pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan dalam suatu kerangka
acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan kebutuhan pragmatis
(produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan karakter ”ke-akram-an”
dalam arti “kelebihtakwaan”. Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan
hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi etika
kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan
juga kemampuan menerima kenyataan hidup dan penyesuaian antara kebutuhan
manusia dan ajaran agama. Demikian juga kebutuhan akan penafsiran atau
reinterpretasi ajaran agama sampai titik tertentu, untuk menjaga
aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta untak mengenali kaitan
kuat antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah
mampu melaksanakan transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan
nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak mampu melakukan tugas
transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa proses
transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu
menumbuhkan sikap dan tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap
masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan
mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan
keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang
dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang
dituntut oleh berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak
dirinya sendiri seperti di atas dengan konsep-konsep yang aplikatif
serta dapat diproyeksikan dalam berbagai kegiatan nyata, diharapkan akan
dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di samping
itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh terhadap
problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah Allah, yakni ‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli, yang
pada gilirannya akan mampu mencapai tujuan akhir dari kehidupan ini,
yaitu sa’adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara
utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional dan dalam lingkaran sistem
pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang mampu
melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan
sosial.
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial,
2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam Panel
Diskusi Ikatan Alumni Madrasah Qudsiyah di Kudus, 8 Oktober 1983. Pernah
dimuat Aula edisi No.9 Tahun IX November 1987. Judul asli Perkembangan dan Pengembangan Madrasah.
Oleh : KH MA Sahal Mahfudh
Sumber : NU Online
Post a Comment
Post a Comment