0
Makna Idul Adha - Idul Adha adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati
peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim (Abraham), yang bersedia
untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah, akan mengorbankan
putranya Ismail, kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba.
       Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan
salat Ied bersama-sama di tanah lapang, seperti ketika merayakan Idul
Fitri. Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk
memperingati perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba
sebagai pengganti putranya.
      Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini
jatuh persis 70 hari setelah perayaan Idul Fitri. Hari ini juga beserta
hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.
      Pada hari raya idula adha, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan
shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang
kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah
penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. 



       Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk
lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat muslim yang belum mampu
mengerjakan perjalanan haji, maka ia diberi kesempatan untuk berkurban,
yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan
kecintaan kita kepada Allah SWT.
       Jika kita menengok sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka
pikiran kita akan teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, yaitu ketika
Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menempatkan istrinya Hajar
bersama Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu. Mereka
ditempatkan disuatu lembah yang tandus, gersang, tidak tumbuh sebatang
pohon pun. Lembah itu demikian sunyi dan sepi tidak ada penghuni
seorangpun. Nabi Ibrahim sendiri tidak tahu, apa maksud sebenarnya dari
wahyu Allah yang menyuruh menempatkan istri dan putranya yang masih bayi
itu, ditempatkan di suatu tempat paling asing, di sebelah utara kurang
lebih 1600 KM dari negaranya sendiri palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim,
maupin istrinya Siti Hajar, menerima perintah itu dengan ikhlas dan
penuh tawakkal.


Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an: 


رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي
بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ
الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم
مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Artinya: Ya Tuhan kami sesunggunnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di suatu lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
rumahmu (Baitullah) yang dimuliakan. Ya Tuhan kami (sedemikian itu) agar
mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah gati sebagia manusia
cenderung kepada mereka dan berizkilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur.
(QS Ibrahim: 37)

Seperti yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa tatkala Siti Hajar
kehabisan air minum hingga tidak biasa menyusui nabi Ismail, beliau
mencari air kian kemari sambil lari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa
dan Marwah sebanyak 7 kali. Tiba-tiba Allah mengutus malaikat jibril
membuat mata air Zam Zam. Siti Hajar dan Nabi Ismail memperoleh sumber
kehidupan.
Lembah yang dulunya gersang itu,
mempunyai persediaan air yang melimpah-limpah. Datanglah manusia dari
berbagai pelosok terutama para pedagang ke tempat siti hajar dan nabi
ismail, untuk membeli air. Datang rejeki dari berbagai penjuru, dan
makmurlah tempat sekitarnya. Akhirnya lembah itu hingga saat ini
terkenal dengan kota mekkah, sebuah kota yang aman dan makmur, berkat
do’a Nabi Ibrahim dan berkat kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota
dan masyarakat. Kota mekkah yang aman dan makmur dilukiskan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ
اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ
مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Artinya: Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah
dan hari kiamat.”
(QS Al-Baqarah: 126)


         Dari ayat tersebut, kita memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah
hingga saat ini memiliki kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari
seluruh penjuru dunia, memperoleh fasilitas yang cukup, selama melakukan
ibadah haji maupun umrah.
        Hal itu membuktikan tingkat kemakmuran modern, dalam tata pemerintahan
dan ekonomi, serta kaemanan hukum, sebagai faktor utama kemakmuran
rakyat yang mengagumkan. Yang semua itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi
Ibrahim dikabulkan Allah SWT. Semua kemakmuran tidak hanya dinikmati
oleh orang islam saja. Orang-orang yang tidak beragama Islam pun ikut
menikmati.


Allah SWT berfirman:

قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ
قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Artinya: Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri
kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan
itulah seburuk buruk tempat kembali.”
(QS. Al-Baqarah: 126)
Idul Adha dinamai juga “Idul Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal
ini untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim.
Akibat dari kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai
ujian dan cobaan, Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan
“Khalilullah” (kekasih Allah).
Setelah gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah:
“Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu.
Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah
berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah,
tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Sebagai realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para
malaikat menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata,
kekayaan dan keluarganya dan tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada
Allah.
Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi
Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta.
Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor
ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong
milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang
“milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah,
tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku
serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak
kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa,
pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki
oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah
menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia
mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang
elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih
dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan!
Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ
أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnay aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu?
Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Aa-saffat: 102)

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan
sambil berkata, “Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti,
anak saja disembelih?” “Apa kata orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega
sekali, anak satu-satunya disembeli!” “Coba lihat, anaknya lincah
seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh
seperti itu kok dipotong!” “Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak
punya lagi yang seperti itu! Belum tentu nanti ada lagi seperti dia.”
Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil batu lalu mengucapkan,
“Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya seluruh jamaah
haji sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di
dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan,
“Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian menjadi salah satu
rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.
Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail
mengira ayahnya ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan
tangannya, agar tidak muncul suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa
sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa ia meminta ayahnya
mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat,
seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris
digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh
menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap
anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal
mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan
penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan
dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ


“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي
الْآخِرِينَ
“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”

سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”

كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam
sejarah umat manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar
darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi
Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian dismbung
oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’
Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat
manusia itu membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar,
dan mempunyai arti besar. Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama
Nabi Ismail diatas, bagi kita harus dimaknai sebagai pesan simbolik
agama, yang mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal;
  • ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan
    seorang hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi
    larangan Nya. Koridor agama (Islam) mengemas kehidupan secara harmoni
    seperti halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa mereaih kehidupan baik
    (hasanah) di akhierat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang
    merupakan ladang untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar
    tercapai kehidupan dunia dan akherat yang hasanah. Sehingga kehidupan
    di dunia tidak terpisah dari upaya meraih kehidupan hasanah di akherat
    nanti. Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari
    kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat yang
    memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan
    wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang
    seperti ini akan merasa malu jika kehiudpannya lebih mewah dari pada
    rakyat yang diwakilinya. Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak
    kesayangannya atas perintah Allah menandakan tingginya tingkat ketakwaan
    Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat
    yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan
    Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat
    menghargai nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi
    peradaban manusia.
  • Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang
    diperintahkan Tuhan senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan
    yakni kaitannya dengan hubungan kepada Allah (hablumminnalah) dan
    hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas. Ajaran Islam sangat
    memerhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan
    sosialnya melalui media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu
    merasakan bagaimana susahnya hidup seorang dhua'afa yang memenuhi
    kebutuhan poangannya sehari-hari saja sulit. Lalu dengan menyembelih
    hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan
    salah satu bentuk kepedualian sosial seoarng muslim kepada sesamanya
    yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong
    dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Hikmah yang dapat
    dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap
    sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang
    beruntung, waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku
    tidak terpuji seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan
    kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.
  • peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual
    keagaamaan ini adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian
    dan pengelolaan diri yang merupakan cikal bakal akhlak terpuji seorang
    Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama manusia
    dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkani orang lain
    (altruism) dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama
    dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Dalam Al Quran disebutkan bahwa Nabi
    Muhammad memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Dalam Islam
    kedudukan akhlak sangat penting merupakan "buah" dari pohon Islam
    berakarkan akidah dan berdaun syari"ah. Segala aktivitas manusia tidak
    terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia.
    Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah
    dalam keimanan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan
    iblis.
Dari sejarahnya itu, maka lahirlah kota Makkah dan Ka’bah sebagai
kiblat umat Islam seluruh dunia, dengan air zam-zam yang tidak pernah
kering, sejak ribuan tahunan yang silam, sekalipun tiap harinya dikuras
berjuta liter, sebagai tonggak jasa seorang wanita yang paling sabar dan
tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail.



Sejarah Qurban Idul Adha (Hari Raya Kurban)

Sejarah qurban idul adha dijelaskan secara singkat dan jelas dalam Al
Quran surat As Shoffat ayat 102. Dalam QS AS Shoffat tersebut bisa
diceritakan sejarah qurban adalah sebagai berikut. Saat Ismail berusia
remaja, ayahnya Ibrahim memanggil Ismail (anak Ibrahim) untuk
mendiskusikan sesuatu.


Ibrahim menceritakan kepada Ismail bahwa Ibrahim telah mendapatkan
perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih Ismail. Dari sini,
Ibrahim menanyakan kepada Ismail: "Bagaimana menurutmu, wahai Ismail?"


Lantas, Ismail menjawab: "Wahai ayah, laksanakan perintah Allah yang
dimandatkan untukmu. Saya akan sabar dan ikhlas atas segala yang
diperintahkan Allah," ujar Ismail kepada ayahnya, Ibrahim. Dalam hal
ini, Ibrahim mengkonfirmasikan mimpinya jangan-jangan mimpinya datang
dari setan.

Ternyata tidak, Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah sebanyak 3
(tiga) kali melalui mimpi. Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa
itu adalah perintah Allah, maka Ibrahim dengan ikhlas akan menyembelih
puteranya sendiri, yaitu Ismail.


Setelah Ibrahim dan Ismail kedua-duanya ikhlas untuk menjalankan
perintah Allah, ternyata Allah mengganti Ismail menjadi domba. Dari
peristiwa ini, sudah mulai bisa diketahui arti, makna, dan hakikat idul
adha qurban. Peristiwa ini kemudian dijadikan sebagai hari raya umat
Islam selain hari raya idul fitri.

Arti Qurban Idul Adha

Arti kata idul adha qurban ada dua makna. Pertama, arti qurban adalah
dekat yang diambil dari bahasa Arab Qarib. Pandangan umum mengatakan
bahwa qurban adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.


Kedua, arti qurban adalah udhhiyah atau bisa dikatakan dhahiyyah yang
artinya adalah hewan sembelihan. Dari arti makna qurban ini, maka
menjadi tradisi sebagaimana lazim dilakukan umat muslim di dunia untuk
menyembelih hewan dengan cara kurban atau mengorbankan hewan yang
menjadi sebagian hartanya untuk kegiatan sosial.


"Tradisi kurban dalam hari raya idul adha memiliki dua dimensi. Pertama,
makna qurban memiliki dimensi ibadah-spiritual. Kedua, makna qurban
punya dimensi sosial," ujar Lismanto, pencetus teori aktualisasi syariat
(dalam Hukum Islam Progresif, 2014) saat dihubungi Islamcendekia.com
via telepon.


Dimensi ibadah dalam tradisi qurban, lanjut Lismanto, sudah jelas
menjadi bentuk ketaatan hamba kepada Tuhannya. Ketaatan itu harus
dilandasi dengan rasa ikhlas sepenuhnya, sehingga kita menjadi dekat
dengan Allah. Hal inilah yang dimaksud qurban dalam pengertian ibadah,
yakni qarib.

Sementara itu, tutur Lismanto, dimensi sosial dalam tradisi qurban sudah
bisa dibaca dengan kasat mata bahwa ibadah qurban memberikan
kesejahteraan kepada lingkungan sosial berupa daging kurban yang
notabene hanya bisa dijangkau kalangan elite. "Ini berlaku di desa,
bukan di kota-kota yang memang sudah terbiasa makan daging. Dengan
qurban dari perspektif sosial, ini menjadi bagian dari ketakwaan kita
kepada Allah secara horizontal," imbuh Lismanto.

"Jadi, Allah selalu memerintah hamba-Nya untuk selalu mengharmonisasikan
antara ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum
minannas). Keduanya berjalan beriringan tanpa ada sekat dan harus
senantiasa berdialektika," tutur Lismanto.

Dari penjelasan tersebut, kita bisa simpulkan bahwa arti qurban dalam
tradisi idul adha memiliki dua makna. Makna pertama merujuk pada kata
qarib yang identik pada ibadah vertikal, dan arti qurban kedua merujuk
pada makna kata udhhiyah atau dhahiyyah yang dilekatkan pada ibadah
horizontal.


Kurban idul adha diambil dari bahasa Arab, yaitu qaruba, yaqrabu, dan
qurban wa qurbaanan di mana artinya adalah mendekati atau menghampiri.
Sementara itu, arti kata qurban secara harfiah berarti hewan sembelihan
yang diambil dari kata udhhiyah atau dhahiyyah.

Makna Qurban Idul Adha

Makna dan arti adalah dua kata yang bisa jadi berbeda. Arti lebih kepada
arti secara eksplisit atau kasat mata. Sementara itu, makna
mengharuskan sebuah tafsir yang mendalam atas suatu teks. Dari sini
makna qurban dalam tradisi idul adha dimaknai lebih dalam sebagai sebuah
bentuk ketakwaan kita kepada Allah.


Makna qurban dalam idul adha adalah bahwa kita harus ikhlas dalam
menjalankan cobaan dari Allah. Kata lainnya adalah saat kita
"disembelih" Allah, maka ikhlaslah dan bertawakal sehingga dengan
keikhlasan itu kita akan mendapatkan "domba" sebagai penggantinya.

Sayangnya, saat kita menjadi bagian dari sembelihan Allah, kemungkinan
kita tidak ikhlas dan berat sehingga tentu kita tidak mendapatkan
gantinya berupa domba. Oleh karena itu, atas segala sesuatu yang terjadi
kepada kita karena cobaan dari Allah, kita mesti ikhlas menjalaninya.


Muhammad Ainun Najib atau yang lebih akrab disapa Cak Nun dalam hal
quran idul adha, menjelaskan, kalau kita sedang "disembelih" Allah, maka
kita harus ikhlas dan tulus agar kita mendapatkan domba sebagaimana
Ibrahim menyembelih Ismail. Masalahnya, kita seringkali tidak ikhlas
saat disembelih Allah. Inilah hal yang paling berat, yaitu ikhlas dan
tulus.

Hakikat Qurban Idul Adha

Hakikat qurban idul adha adalah bahwa kita harus kembali kepada tujuan
hidup, yaitu beribadah kepada Allah. Karena manusia dan jin tidaklah
diciptakan, kecuali untuk beribadah.


Sebagaimana ujian Allah kepada nabi Ibrahim, hikmah dari segala peistiwa
qurban tidak lain tidak bukan adalah untuk memperoleh ridha Allah
melalui ibadah dengan menjalankan apa yang menjadi perintah Allah.
Namun, tidak sekadar ibadah, kita harus ikhlas dalam menjalankan setiap
perintah Allah. Kalau tidak, apa yang kita kerjakan dan menurut kita
ibadah, itu menjadi sia-sia karena tidak dilakukan dengan ikhlas. Inilah
hakikat dari peristiwa qurban dalam idul adha.


Serbagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada
Allah, maka hakikat kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan
menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu, makna
qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk pendekatan diri kita kepada
Allah melalui lantaran hewan ternak yang dikurbankan atau disembelih.


Dengan begitu, kita merelakan sebagian harta kita yang sebetulnya milik
Allah untuk orang lain. Ini menjadi bagian dari ketaatan kita kepada
Allah. Syaratnya, dalam qurban kita harus benar-benar untuk mencari
ridha Allah, bukan untuk yang lain. Inilah hakikat qurban dalam Islam
yang sebenarnya.


Demikian Sejarah makna dan hakikat idul adha dan Hari Qurban dalam tradisi Islam
yang dibangun sejak sepeninggal Nabi Ibrahim sampai sekarang. Semoga
artikel tentang arti makna dan hakikat qurban idul adha dalam Islam memberikan manfaat nyata kepada pembaca untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Post a Comment

 
Top